Sabtu, 22 Juli 2017

"Terapi Gestalt (Teknik Terapi Kursi Kosong Gestalt)"


A.        Perkembangan Konseling Gestalt
Konseling Gestalt dicetuskan pertama kali oleh Frederick Perls, yang kemudian lebih dikenal dengan nama Fritz Perls (1893-1970). Lahir di Berlin dari keluarga Yahudi kelas menengah bawah. Pada awalnya Perls dikenal sebagai siswa yang agak malas di sekolah, namun  ia berhasil meraih gelar doktor dalam bidang psikiatri dan pindah ke Wina untuk belajar praktek psikoanalisa bersama dengan beberapa murid Freud yang lain. Fritz juga belajar tentang penggunaan tubuh untuk mendorong pemahaman dan perkembangan pribadi. Berdasarkan pengalaman klinisnya, Perls menemukan bahwa kemandirian dan konfrontasi merupakan aspek penting dalam terapi. Dari istrinya, Laura Posner, ia memperoleh anjuran untuk menggunakan dukungan dan hubungan atau kontak. Penggunaan kata Gestalt dimaksudkan untuk menegaskan bahwa Konseling Gestalt menekankan pada keutuhan, kebulatan, dan integrasi. Dalam bahasa Jerman, Gestalt berarti utuh.
Di Berlin, Konseling Gestalt memiliki banyak penyokong antara lain adalah Max Wertheimer, Kurt Koffka, dan Wolfgang Kohler. Berdasarkan penelitian- penelitian yang telah dilakukannya, para ahli tersebut memiliki keyakinan bahwa memahami pengetahuan dalam arti “unit and wholes, gestalten” adalah lebih berguna untuk mengembangkan pengetahuan alih-alih memotong atau memisahkan bagian-bagian. Mereka juga memandang manusia memiliki suatu kecenderungan dasar untuk mencapai keseimbangan, dan kecenderungan ini mengarahkan manusia untuk berpikir dalam arti keseluruhan.
Hasil kerja Fritz yang paling krusial adalah penggunaan kursi kosong (empty chair) dalam konseling yang dikenal juga dengan sebutan kursi panas. Teknik ini diperkenalkan oleh Fritz ketika ia bekerja di Esalen Institute, Big Fur, California, antara tahun 1962- 1969. Sejak saat itu ia menjadi populer dan dipandang sebagai sosok yang inovatif dan kharismatik dalam bidang pengembangan potensi manusia. Ketika popularitas Konseling Gestalt mengalami puncaknya pada sekitar tahun 1970-an, Fritz meninggal dunia. Meskipun para ahli psikologi Gestalt telah memberikan label dan premis dasar Konseling Gestalt, Perls mengadopsi banyak sumber pengetahuan dalam mengembangkan system terapeutiknya, termasuk di dalamnya psikoanalisa dan eksistensial, yang memiliki pengaruh sangat kuat di daratan Eropa hingga awal abad ke-20. Pada awalnya, pandangan-pandangan Perls dipengaruhi oleh psikoanalisis. Di samping ia mengakui pentingnya hasil kerja Freud , ia juga dipengaruhi oleh para analis yang lain seperti Karen Horney, Wilhelm Reich, dan Otto Rank.

B.        Tujuan
Tujuan pertama terapi Gestalt adalah untuk mencapai kematangan dan pertumbuhan. Karena salah satu elemen kunci kematangan dan pertumbuhan adalah menjadi pribadi yang bertanggung jawab, maka kesimpulannnya adalah bertanggung jawab terhadap diri sendiri merupakan suatu tujuan yang penting dalam terapi Gestalt. Bertanggung jawab bukanlah proses menjalankan kewajiban-kewajiban menurut harapan-harapan orang lain, melainkan individu tidak tergantung pada orang lain dan menemukan bahwa individu sendiri melakukan banyak hal lebih daripada yang dapat dipikirkannya untuk dilakukan.
Tujuan kedua terapi Gestalt adalah untuk mencapai integrasi. Dalam arti harfiah, menurut Webster, mengintegrasikan adalah “menyatukan atau menjadikan satu dan dengan demikian membentuk suatu keseluruhan yang lengkap atau sempurna”. Definisi ini akan berlaku disini juga. Seseorang yang terintegrasi; berfungsi seperti suatu keseluruhan teratur yang terdiri dari perasaan, persepsi, pikiran, dan tubuh fisik yang proses-prosesnya tidak dapat dipisahkan dari komponen-komponen psikologis. Apabila keadaan batin dan tingkah laku seseorang seimbang, maka organisme menggunakan energi hanya sedikit saja dan dia lebih mampu mengadakan respons dengan tepat untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Orang yang tidak terintegrasi dengan baik, maka ruang kosong atau keretakan di dalam dirinya akan menghambat mobilisasi penuh dari sumber dayanya.
Isi dari integrasi itu dapat berbeda-beda antar individu. Bagi seseorang mungkin penting untuk mengitegrasikan ingatan-ingatan masa lampau dengan saat sekarang sehingga dia berada pada satu tempat dan bukan di dua tempat. Menemukan suatu hubungan yang tepat di antara bipolaritas, seperti maskulinitas-feminitas, mungkin merupakan bidang yang penting untuk diintegrasikan. Integrasi otot-otot, sensasi, fantasi, pikiran, perasaan, dan persepsi juga sangat penting. Memperoleh kembali dan mengakui kebutuhan-kebutuhan dan kekurangan-kekurangan yang telah disangkal adalah hal-hal yang penting dalam integrasi.
Selain itu juga untuk berfungsi secara memadai, organisme harus menjadi satu dan terintegrasi dalam hubungan dengan lingkungannya. Menyelesaikan suatu situasi yang belum selesai (unfinished situation) adalah sarana untuk mengintegrasikan energy yang hilang karena tidak adanya penyelesaian. Selanjutnya, sumbangan-sumbangan bagi integrasi dilakukan dengan memperoleh bagian-bagian kepribadian yang diproyeksikan kepada orang lain atau kepada mimpi-mimpi.

C.        Hakikat Manusia Menurut Teori Konseling Gestalt
Fritz Perls adalah seorang humanis yang memiliki pandangan optimistic tentang sifat dasar manusia. Setiap manusia bertujuan untuk mengaktualisasikan diri. Dalam pandangan Gestalt, individu memiliki kesanggupan untuk bertanggung jawab atas kehidupannya, dan manusia memiliki sifat dasar baik serta memiliki kemampuan untuk menangani kehidupannya dengan berhasil, walaupun terkadang mereka pasti butuh bantuan orang lain.
Dalam pandangan Gestalt, manusia mengalami gangguan kepribadian atau perilaku dikarenakan manusia menolak mengakui satu atau lebih aspek-aspek yang ada dalam dirinya (mengingkari sebagian hal dalam dirinya), atau membiarkan dirinya menjadi terpecah belah, terpolarisasi/terfragmentasi atau terpisah menjadi beberapa bagian-bagian. Sedangkan setiap manusia dapat menangani dengan berhasil masalah dalam hidupnya jika mereka tahu siapa dirinya dan mengorganisasikan (mengintegrasikan) semua kemampuannya kedalam suatu rajutan tindakan-tindakan yang efektif.
Oleh karena itu, konselor perlu membantu individu mengembangkan kesadaran (awareness), mengintegrasikan bagian-bagian dalam diri individu yang terpolarisasi menjadi satu kesatuan yang utuh dan bermakna, membuat individu menemukan dukungan dari dalam dirinya (inner support), serta mengembang perasaan mampu (self-sufficiency) sehingga mereka mengakui bahwa sebenarnya kemampuan yang mereka butuhkan untuk menyelesaikan permasalahnnya terdapat dalam dirinya sendiri bukan dari orang lain.

D.        Karakter Dasar Konseling Gestalt
Karakter dasar konselor menurut teori konseling gestalt adalah sebagai berikut :
a.  Penekanan Tanggung Jawab Klien, konselor menekankan bahwa konselor bersedia membantu klien tetapi tidak akan bisa mengubah klien, konselor menekankan agar klien mengambil tanggung jawab atas tingkah lakunya.
b.  Orientasi Sekarang dan Di Sini, dalam proses konseling konselor tidak merekonstruksi masa lalu atau motif-motif tidak sadar, tetapi memfokuskan keadaan sekarang. Hal ini bukan berarti bahwa masa lalu tidak penting. Masa lalu hanya dalam kaitannya dengan keadaan sekarang. Dalam kaitan ini pula konselor tidak pernah bertanya “mengapa”.
c.   Orientasi Eksperiensial, konselor meningkatkan kesadaran klien tentang diri sendiri dan masalah-masalahnya, sehingga dengan demikian klien mengintegrasikan kembali dirinya:
·         Klien mempergunakan kata ganti personal. Klien mengubah kalimat pertanyaan menjadi pernyataan;
·         Klien mengambil peran dan tanggung jawab;
·         Klien menyadari bahwa ada hal-hal positif dan/atau negative pada diri atau tingkah lakunya.

E.        Hubungan Konselor dan Konseli Pada Konseling Gestalt
Sebagai terapi eksistensial, praktek terapi Gestalt yang efektif melibatkan hubungan pribadi ke pribadi antara konselor dan konseli. Terapis secara aktif berbagi persepsi–persepsi dan pengalaman–pengalaman saat sekarang ketika dia menghadapi konseli disini dan sekarang. Konselor harus mengahadapi konseli dengan reaksi–reaksi yang jujur dan langsung serta menantang manipulasi–manipulasi klien tanpa menolak konseli sebagai pribadi. Konselor bersama konseli perlu mengeksplorasi ketakutan–ketakutan, pengharapan–pengharapan katastrofik, penghambatan–penghambatan, dan penolakan–penolakan konseli.
Perls (1969a), Polster dan Polster (1973), dan Kempler (1973) semuanya menekankan pentingnya kepribadian konselor, tidak hanya teknik–teknik yang mereka miliki, sebagai bahan vital dalam proses terapi. Mereka menganjurkan penggunaan tingkah laku konselor yang berlingkup luas, dan memperingatkan bahaya dari tindakan mengidentikkan terapi dengan teknik–teknik yang berlingkup terbatas. Mereka juga menganjurkan konselor untuk membangkitkan spontanitas diri dan menggunakan hubungan dengan konseli sebagai teknik terapeutik. Kempler (1979,hal 261) menyebut hubungan yang actual antara konselor dan konseli sebagai inti dari proses terapeutik. Kempler menandaskan bahwa penggunaan permainan peran bisa menjadi godaan bagi konselor untuk menjaga agar respon–respon pribadinya tetap tersembunyi. Meskipun mungkin bisa menjadi cara yang efektif, permainan peran itu bukanlah tujuan akhir terapi. Kempler juga menyebutkan bahwa teknik–teknik sering menjadi alat bantu yang bernilai bagi proses terapeutik, tetapi ia menekankan proses hubungan konselor dan konseli dengan alasan bahwa kualitas hubungan konselor–konseli itu menentukan apa yang terjadi pada keduanya.

F.        Teknik-Teknik Konseling Gestalt
Berikut merupakan teknik-teknik yang digunakan dalam Konseling Gestalt.
a.     Eksperimen
Eksperimen berarti mendorong konseli untuk mengalami dan mencoba cara-cara baru. Konselor membelajarkan konseli untuk mengalami dan menghayati kembali masalah-masalah yang tak terselesaikan ke dalam situasi disini dan sekarang. Eksperimen dilaksanan melalui prosedur bermain peran atau memberikan kegiatan yang harus diselesaikan konseli pada tiap sesi.
b.     Penggunaan Bahasa
Para ahli konselor gestalt meyakini bahwa bahasa memilki peran penting dalam perkembangan. Dengan memilih kata yang tepat, konselor dapat menciptakan suatu iklim lingkungan yang mendorong perubahan. Bahasa-bahasa yang direkomendasikan antara lain :
·      Menggunakan pernyataan “apa” dan “bagaimana” bukan “mengapa”. Contoh: “apa yang anda alami ketika hal itu terjadi?” atau “bagaimana perasaan anda ketika gagal mencapai keinginan anda?”.
·   Menggunakan pernyataan “saya”. Konselor mendorong konseli untuk memusatkan perhatian pada perasaan dan pengalaman sendiri alih-alih membicarakan orang atau peristiwa lain. Contoh : konseli didorong menyatakan seperti berikut “saya marah” daripada mengatakan “ibu telah mebuat saya marah”.
·  Menekankan pernyataan. Meski pertanyaan merupakan bagian penting tapi dianjurkan lebih banyak menganjurkan pernyataan. Contoh, alih-alih membuat pertanyaan, “kemana saja kau?” lebih baik menggunakan pernyataan “saya merasa kita jarang bertemu”.
·  Menyatakan pengalaman disini dan sekarang. Jika konseli bercerita masa lampau, maka konselor harus segera mengarahkannya untuk mengalaminya kembali saat sekarang. Ini akan mendorong kesadaran disamping kontak yang benar dengan pengalaman-pengalaman konseli.
·     Mendorong tanggung jawab. Konselor direkomendasikan menggunakan bentuk-bentuk frase atau bahasa yang mendorong tanggung jawab pribadi dan tidak melempar kesalahan pada orang lain. Contoh, konselor mendorong konseli mengatakan “saya bertanggung jawab atas hilangnya dia”.
c.      Memaknakan Impian
Konseling gestalt memandang impian sebagai “jalan yang lebar menuju integrasi diri”. Bagian dari impian dipandang merepresentasikan proyeksi atau aspek-aspek individu. Dengan memahami impian, konseli lebih memperoleh kesadaran, mengambil tanggung jawab dari impian-impiannya, melihat impiannya sebagai bagian dari dirinya, memiliki perasaan integrasi yang lebih besar, dan lebih sadar tentang pikiran dan emosi yang direfleksikan dalam impian tersebut.
d.     Fantasi
Fantasi digunakan untuk membantu konseli meningkatlkan kesadaran diri. Fantasi dipandang merepresentasikan proyeksi atau aspek-aspek pribadi klien. Teknik ini, sebagai hal eksplorasi impian, membantu konseli untuk sadar tentang kontak dengan perasaannya dan menjadi lebih mampu untuk mengekspresikan emosinya.
e.     Bermain Peran
Salah satu bentuk bermain peran yang paling awal digunakan adalah psikodrama. Namun dalam perkembangannya psikodrama hampir tidak digunakan lagi. Bermain peran jarang menggunakan orang lain karena dapat menyebabkan fragmentasi. Bermain peran yang paling sering digunakan adalah “Kursi Kosong” (empthy chair) atau “kursi panas” untuk format konseling individual, dan “berkeliling” (making arround) untuk format konseling kelompok.
f.     Koreksi Permainan Topdog/Underdog
Para ahli konseling gestalt memiliki keyakinan bahwa kita terus menerus mengusik diri kita sendiri dengan permainan atas bawah (Topdog/Underdog), yakni menempatkan satu bagian diri untuk menceramahi, mendorong, dan mengancam bagian diri yang lain menuju “perilaku yang baik”. Topdog membuat penilaian dan mengatakan kepada underdog tentang bagaimana seharusnya dia merasa, berpikir, atau bertindak. Topdog ibarat kata hati atau superego dalam konsep psikoanalisa. Underdog cenderung menurut dan senang minta maaf tapi tidak sungguh-sungguh berubah. Teknik kursi kosong dapat digunakan untuk memunculkan kesadaran tentang permainan Topdog/Underdog dan mendorong integrasi bagian-bagian diri di samping mendorong perubahan.
g.     Melatih Kepekaan terhadap Pesan Tubuh
Konselor berusaha mendorong konseli untuk mencapai kesadaran tentang keutuhan (a sense of wholeness). Kesadaran ini memungkinkan mereka untuk menemukan akses dan menyadari perasaan, pikiran dan sensasi fisiknya.
h.     Kelompok
Praktek dalam konseling ini dilaksanakan melalui format individual maupun kelompok. Namun format kelompok dipandang lebih efisien. Umpan balik yang diterima konselor maupun anggota kelompok dapat mempercepat kesadaran. Jika dilaksanakan melalui format kelompok, maka menggunakan teknik keliling. 

G.        Proses Konseling Gestalt
Proses konseling Gestalt mula-mula diarahkan untuk mendorong dan mengarahkan konseli mencapai kesadaran. Kesadaran ini akan menjadi wahana bagi terjadinya perubahan. Dengan kata lain, perubahan perilaku tidak akan terjadi sebelum konseli mencapai kesadaran. Jika konseli dapat memperoleh kesadaran tentang masalah-masalah yang tak terselesaikan, kekuatan dan sumber-sumber pribadinya, maka mereka akan menemukan jalan yang mudah menuju pemecahan masalah dan mencapai perkembangan dan aktualisasi diri. Proses membangkitkan kesadaran dapat dicapai dengan cara mengembangkan hubungan atau aliansi teraupetik yang kondusif, manusiawi, dan menekankan pada aspek-aspek personal konseli. Hubungan yang ditekankan pada proses Konseling Gestalt adalah hubungan unik yang mereka sebut “Saya dan Kamu“. Bentuk hubungan ini menuntut konselor dan konseli untuk sepenuhnya menghayati keadaan pada tataran “Disini dan Sekarang“. Konselor juga mendorong konseli untuk berperan aktif dalam proses terapeutik dan mengambil tanggung jawab dalam membuat pilihan atau keputusan berkenaan dengan informasi mana yang akan ia gunakan dari seluruh informasi yang muncul dalam sesi-sesi konseling. Dalam hal ini konselor dianjurkan untuk tidak menginterupsi upaya-upaya konseli dalam memecahkan masalahnya. Namun, ketika konselor melihat konseli melakukan kesalahan atau menjadi tidak konsisten, konselor dapat mengingatkan hal tersebut.

H.        Kelebihan Dan Kekurangan Konseling Gestalt
Menurut ringkasan Gudnanto (Pendekatan Konseling, 2012) dan buku Gerald Corey (Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi, 1995). Kelebihan dan Kelemahan pendekatan Gestalt adalah:

·         Kelebihan
a.   Terapi Gestalt menangani masa lampau dengan membawa aspek-aspek masa lampau yang relevan ke saat sekarang.
b.  Terapi Gestalt memberikan perhatian terhadap pesan-pesan nonverbal dan pesan-pesan tubuh.
c.  Terapi Gestalt menolak mengakui ketidak berdayaan sebagai alasan untuk tidak berubah.
d.  Terapi Gestalt meletakkan penekanan pada konseli untuk menemukan makna dan penafsiran-penafsiran sendiri.
e.  Terapi Gestalt menggairahkan hubungan dan mengungkapkan perasaan langsung menghindari intelektualisasi abstrak tentang masalah konseli.

·         Kelemahan
a.    Terapi Gestalt tidak berlandaskan pada suatu teori yang kukuh.
b. Terapi Gestalt cenderung antiintelektual dalam arti kurang memperhitungkan faktor-faktor kognitif. Baik fungsi perasaan maupun fungsi pemikiran, sangatlah penting dalam terapi. Pada terapis Gestalt hanya menyisakan sedikit peluang bagi para klien untuk mengkonseptualkan dan memikirkan tindakan mengalaminya.
c. Terapi Gestalt menekankan tanggung jawab atas diri kita sendiri, tetapi mengabaikan tanggung jawab kita kepada orang lain.
d.   Teradapat bahaya yang nyata bahwa terapis yang menguasai teknik-teknik Gestalt akan menggunakannya secara mekanis sehingga terapis sebagai pribadi tetap tersembunyi.
e.  Para konseli sering bereaksi negative terhadap sejumlah teknik Gestalt karena merasa dianggap tolol. Sudah sepantasnya terapis berpijak pada kerangka yang layak agar tidak tampak hanya sebagai muslihat-muslihat.

“Analisis Video Teknik Terapi Kursi Kosong Gestalt”


Di dalam video berikut terlihat seorang klien datang kerumah konselor untuk berkonsultasi, dan sesampainya di lokasi klien akhirnya bertemu dengan konselor tersebut. Kemudian diawal perjumpaan, konselor melakukan rapport terlebih dahulu, seperti menanyakan bagaimana kabar klien pada saat itu, bagaimana perjalanannya menuju lokasi dan kemudian konselor menanyakan apa permasalahan yang ingin disampaikan klien.
Klien menceritakan bahwa klien memiliki masalah dengan ayahnya, ayahnya menyuruh klien untuk melanjutkan sekolah di perguruan tinggi jurusan kedokteran, namun klien menyadari atas kemampuannya dirinya, dan klien hanya memiliki keinginan untuk masuk di jurusan psikologi. Kemudian jika klien tidak menuruti keinginan ayahnya, klien akan dimarahi, tidak dibiayai sekolahnya dan akan diusir oleh ayahnya. Kemudian klien juga menceritakan bahwa dia akan diam saja ketika dimarahi oleh ayahnya. Tetapi klien tetap memilih untuk mengikuti keinginan dirinya, karena menurut klien kehidupan selanjutnya yang menjalankan adalah dirinya dan klien tidak ingin diatur oleh ayahnya.
Kemudian konselor memberikan teknik terapi kursi kosong, konselor menjelaskan bahwa klien akan dihadapkan dengan dua kursi kosong, dan klien akan melakukan dua peran. Pada kursi pertama, klien diminta untuk berperan sebagai dirinya sendiri (sosok yang lemah). Dan pada kursi kedua, klien diminta untuk berperan sebagai ayahnya (sosok yang memegang kendali).
Setelah melakukan terapi, klien merasa lebih lega. Dan klien juga menjelaskan bahwa sebelum melakukan terapi, klien selalu memikirkan masalah yang dialami, dan ingin mengungkapkan seluruh isi hatinya kepada ayahnya. Selanjutnya klien lebih merasa percaya diri untuk berbicara lagi kepada ayahnya tentang apa yang klien inginkan selama ini untuk melanjutkan kehidupannya.
Kemudian konselor menjelaskan bahwa klien sudah mengetahui permasalahan dan solusinya. Konselor hanya memberi saran agar klien dapat memiliki hubungan yang baik dengan ayahnya, sehingga semua akan berjalan dengan baik untuk kedepannya.

Daftar Pustaka
(diakses pada tanggal 22 juli 2017)

Rabu, 05 April 2017

PSIKOMETRI (Berbagai Macam Terapi ditinjau dari Pendekatan Psikologi)

PSIKOTERAPI

A. Terapi Dengan Pendekatan Behaviorisme
Menurut Atkinson dkk (dalam Riyanti & Prabowo, 1998) Aliran ini timbul di Rusia yang dipelopori oleh Juan Petrovich Pavlov. Para ahli behaviourist beranggapan bahwa perilaku maladatif merupakan cara untuk menanggulangi stress yang sudah “terbiasa” pada diri seseorang, sehingga beberapa teknik perilaku yang dikembangkan dalam percobaan dapat digunakan untuk menggantikan respons maladatif tersebut dengan respon baru yang lebih tepat. Jika terapis psikoanalis berkaitan dengan pemahaman konflik masa lalu, maka terapi perilakuan lebih memusatkan langsung kepada perilaku itu sendiri.
Terapi Dengan Pendekatan Behaviorisme diantaranya yaitu:
1.  Desensitisasi Sistematis
Menurut Corey (dalam Riyanti & Prabowo, 1998) Desensitisasi sistematis adalah salah satu teknik yang digunakan untuk menghilangkan tingkah laku yang diperkuat secara negatif, serta memunculkan tingkah laku atau respon yang berlawanan dengan tingkah laku yang akan dihilangkan tersebut. Teknik ini mengarahkan agar klien dilatih untuk menampilkan suatu respon yang tidak konsisten dengan kecemasan yang dialaminya.
Wolpe seorang ahli yang pertama menggembangkan teknik desensitisasi sistematis, mengajukan argument bahwa segenap tingkah laku neurotik adalah ungkapan dari kecemasan serta kecemasan tersebut menurutnya dapat dihilangkan dengan respons-respons yang secara inheren berlawanan dengan respons tersebut.
Di dalam  menerapkan teknik Desensitisasi Sistematis, dikenal dua unsur utama yang tidak dapat dipisahkan dari teknik ini, yaitu: relaksasi dan hirarki kecemasan.
2.  Assertive Training
    Digunakan untuk melatih individu yang mengalami kesulitan untuk menyatakan dirinya bahwa tindakannya layak atau benar. Beberapa orang merasa cemas dalam berbagai situasi sosial karena tidak tahu bagaimana “berbicara secara terus terang” tentang apa yang mereka rasakan benar atau “mengatakan tidak” jika orang lain berusaha memanfaatkan mereka. Misalnya “ketika seseorang mendahului anda ketika anda sedang antri membeli karcis” atau “atasan dan mengkritik anda dengan tidak benar”.
   Menurut Atkinson (dalam Riyanti & Prabowo, 1998) dengan memberikan latihan respon yang tegas, seorang klien tidak hanya mengurangi kecemasannya akan tetapi sekaligus juga mengembangkan teknik penanggulangan yang efektif. Latihan asertif diberikan secara bertahap, dimulai dari latihan  permainan peran dengan terapis sampai dengan menghadapi situasi kehidupan yang sebenarnya.
3.  Modeling
  Perilaku model digunakan untuk membentuk perilaku baru pada klien, memperkuat perilaku yang sudah terbentuk degan menunjukkan kepada klien tentang perilaku model, baik menggunakan model audio, model fisik atau lainnya yang dapat teramati dan dipahami jenis perilaku yang akan dicontoh.
4.  Terapi Implosif
   Pasien dengan ansietas yang disebabkan oleh situasi, secara langsung dipajankan terhadap situasi tersebut untuk jangka waktu tertentu (flooding) atau dipajankan di dalam imajinasi (implosion)
5.  Terapi Aversi
   Pasien diberikan stimulus yang tidak menyenangkan (missal, syok elektrik, suara keras) pada saat perilakunya yang tidak dikehendaki muncul. Beberapa dari cara ini secara hokum dilarang. Suatu teknik pengganti, yaitu sensitisasi tertutup, lebih bisa diterima, karena menggunakan pikiran-pikiran yang tidak menyenangkan sebagai stimulus yang aversif.

Contoh Video mengenai Psikoterapi Perilaku (Behaviorisme):

B. Terapi Dengan Pendekatan Psikoanalisis
Sigmund Freud (1856-1939) merupakan pendiri psikoanalisis. Menurut Freud pikiran-pikiran yang direpres atau ditekan, merupakan sumber perilaku yang tidak normal atau menyimpang.
Dasar dari terapi psikoanalisis adalah konsep dari Sigmund Freud dan beberapa pengikutnya. Tujuan dari psikoanalisis adalah menyadarkan individu dari konflik yang tidak disadari serta mekanisme pertahanan (defense mechanism) yang digunakan untuk mengendalikan kecemasan. Apabila motif dan rasa takut yang tidak disadari telah diketahui, maka hal-hal tersebut dapat diatasi dengan cara yang lebih rasional dan realistis.
Terapi psikoanalisis bersifat intensif dan panjang lebar. Terapis dan klien umumnya bertemu selama 50 menit beberapa kali dalam seminggu sampai beberapa tahun. Oleh karena itu agar dapat lebih efisien, maka pertemuan dapat dilakukan dengan pembatasan waktu dan penjadwalan waktu yang tidak terlalu sering (Atkinson dkk., 1993).
Teknik-teknik dalam psikoanalisis disesuaikan untuk meningkatkan kesadaran, memperoleh pemahaman intelektual atas tingkah laku klien, serta untuk memahami makna dari beberapa gejala. Berikut adalah teknik-teknik dasar dalam psikoanalisis:
1.  Asosiasi Bebas
     Menurut Corey (dalam Riyanti & Prabowo, 1998) Asosiasi Bebas merupakan teknik utama dalam psikoanalisi. Terapis meminta klien agar membersihkan pikirannya dari pikiran-pikiran dan renungan-renungan sehari-hari, serta sedapat mungkin mengatakan apa saja yang muncul dan melintas dalam pikiran. Cara yang khas adalah dengan mempersilahkan klien berbaring diatas balai-balai sementara terapis duduk di belakangnya, sehingga tidak mengalihkan perhatian klien pada saat-saat asosiasinya mengalir dengan bebas.
     Asosiasi bebas ini merupakan suatu metode pemanggilan kembali pengalaman-pengalaman masa lampau dan pelepasan emosi-emosi yang berkaitan dengan situasi traumatis masa lalu, yang kemudian dikenal dengan kartasis. Kartasis hanya menghasilkan perbedaan sementara atas pengalaman-pengalaman menyakitkan pada klien tetapi tidak memainkan peran utama dalam proses treatment (Corey, 1995).
2.  Penafsiran (Interpretasi)
     Menurut Corey (dalam Riyanti & Prabowo, 1998) Penafsiran merupakan prosedur dasar di dalam menganalisis asosiasi bebas, mimpi-mimpi, resistensi, dan transferensi. Caranya adalah dengan tindakan-tindakan terapis untuk menyatakan, menerangkan, dan mengajarkan klien makna-makna tingkah laku apa yang dimanifestasikan dalam mimpi, asosiasi bebas, resistensi, dan hubungan terapeutik itu sendiri. Fungsi dari penafsiran ini adalah mendorong ego untuk mengasimilasi bahan-bahan baru dan memprecepat proses pengungkapan alam bawah sadar secara lebih lanjut. Penafsiran yang diberikan oleh terapis menyebabkan adanya pemahaman dan tidak terhalanginya alam bawah sadar pada diri klien.
3.  Analisis Mimpi
     Menurut Corey (dalam Riyanti & Prabowo, 1998) Analisis mimpi adalah prosedur atau cara yang penting untuk mengungkapkan alam bawah sadar dan memberikan kepada klien pemahaman atas beberapa area masalah yang tidak terselesaikan. Selama tidur, pertahanan-pertahanan melemah, sehingga perasaan-perasaan yang direpres akan muncul ke permukaan, meski dalam bentuk lain. Freud memandang bahwa mimpi merupakan “jalan istimewa menuju ketidaksadaran”, karena melalui mimpi tersebut hasrat-hasrat, kebutuhan, dan ketakutan tak sadar dapat diungkapkan. Beberapa motivasi sangat tisak dapat diterima oleh seseorang, sehinggga akhirnya diungkapkan dalam bentuk yang disamarkan atau disimbolkan dalam bentuk yang berbeda.
     Mimpi memiliki dua taraf, yaitu isi laten dan isi manifes. Isi laten terdiri atas motif-motif yang disamarkan, tersembunyi, simbolik, dan tidak disadari. Karena begitu menyakitkan dan mengancam, maka dorongan-dorongan seksual dan perilaku agresif tak sadar (yang merupakan isi laten) ditransformasikan ke dalam isi menifes yang lebih dapat diterima, yaitu impian yang tampil pada si pemimpi sebagaimana adanya. Sementara tugas terapis adalah mengungkapkan makna-makna yang disamarkan dengan mempelajari simbol-simbol yang terdapat dalam isi manifest. Di dalam proses terapi, terapis juga dapat meminta klien untuk mengasosiasikan secara bebas sejumlah aspek isi manifes impian untuk mengungkapkan makna-makna yang terselubung.
4.  Resistensi
     Menurut Corey (dalam Riyanti & Prabowo, 1998) resistensi adalah sesuatu yang melawan kelangsungkan terapi dan mencegah klien mengemukakan bahan yang tidak disadari. Selama asosiasi bebas dan analisis mimpi, klien dapat menunjukkan ketidaksediaan untuk menghubungkan pikiran, perasaan, dan pengalaman tertentu. Freud memandang bahwa resistensi dianggap sebagai dinamika tak sadar yang digunakan oleh klien sebagai pertahanan terhadap kecemasan yang tidak bisa dibiarkan, yang akan meningkat jika klien menjadi sadar atas dorongan atau perasaan yang direpres tersebut.
5.  Transferensi
     Menurut Chaplin (dalam Riyanti & Prabowo, 1998) Resistensi dan transferensi adalah dua hal inti dalam terapi psikoanalisis. Transferensi dalam keadaan normal adalah pemindahan emosi dari suatu objek ke objek lainnya, atau secara lebih khusus pemindahan emosi dari orangtua kepada terapis. Dalam keadaan neurosis, merupakan pemuasan libido klien yang diperleh melalui mekanisme pengganti atau lewat kasih sayang yang melekat dan kasih sayang pengganti. Seperti ketika seorang klien menjadi lekat dan jatuh cinta pada terapis sebagai pemindahan dari orangtuanya.

Contoh Video mengenai Psikoterapi Asosiasi Bebas (Psikoanalisis):

C. Terapi Dengan Pendekatan Humanistik
Abraham Maslow (1908-1970) dapat dipandang sebagai bapak dari psikologi humanistik. Psikologi humanistik mulai di Amerika Serikat pada tahun 1950 dan terus berkembang. Tokoh-tokoh psikologi humanistik memandang behaviorisme mendehumanisasi manusia. Psikologi humanistik mengarahkan perhatiannya pada humanisasi psikologi yang menekankan pada keunikan manusia. Menurut psikologi humanistik manusia adalah makhluk kreatif, yang dikendalikan oleh nilai-nilai dan pilihan-pilihannya sendiri bukan oleh kekuatan-kekuatan ketidaksadaran.
Dasar dari terapi humanistik adalah penekanan pada keunkan setiap individu serta memusatkan perhatian pada kecenderungan alami dalam pertumbuhan dan perwujudan dirinya. Salah satu pendekatan yang dikenal dalam terapi humanistik ini adalah terapi yang berpusat kepada klien atau Client-Centered Therapy. 
Menurut Atkinson dkk (dalam Riyanti & Prabowo, 1998) Client-Centered Therapy adalah terapi yang dikembangkan oleh Carl Rogers yang didasarkan kepada asumsi bahwa klien merupakan ahli yang paling baik bagi dirinya sendiri dan merupakan orang yang mampu untuk memecahkan masalahnya sendiri. Tugas terapis adalah mempermudah prose pemecahan masalah mereka sendiri. Terapis juga tidak mengajukan pertanyaan menyelidik, membuat penafsiran, atau menganjurkan serangkaian tindakan. Istilah terapis dalam pendekatan ini kemudian lebih dikenal dengan istilah fasilitator.
Untuk mencapai pemahaman klien terhadap permasalahan yang dihadapi, maka dalam diri terapis diperlukan beberapa persyaratan antara lain adalah:
1.  Empati
Yaitu kemampuan memahami perasaan yang dapat mengungkapkan keadaan klien dan kemampuan mengkomunikasikan pemahaman ini terhadap klien. Terapis berusaha agar masalah yang dihadapi klien dipandang dari sudut  klien sendiri.
2.  Rapport
Yaitu menerima klien dengan tulus sebagaimana adanya, termasuk pengakuan bahwa orang tersebut memiliki kemampuan untuk terlibat secara konstruktif dengan masalahnya.

Contoh Video mengenai Psikoterapi Konseling (Humanistik):

Daftar Pustaka
©      Basuki, A.M.H. (2008). Psikologi umum. Jakarta: Gunadarma.
©      Riyanti, B.P.D & Prabowo, H. (1998). Psikologi umum 2. Jakarta: Gunadarma.
©      Tomb, D.A. (2003). Buku saku psikiatri. Jakarta: EGC

Senin, 28 November 2016

Kepemimpinan Transaksional dan Transformasional

DEFINISI KEPEMIMPINAN
Kepemimpinan atau leadership merupakan ilmu terapan dari ilmu-ilmu sosial, sebab prinsip-prinsip dan rumusannya diharapkan dapat mendatangkan manfaat bagi kesejahteraan manusia.
Ada banyak pengertian yang dikemukakan oleh para pakar menurut sudut pandang masing-masing, definisi-definisi tersebut menunjukkan adanya beberapa kesamaan.

©                    Pengertian Kepemimpinan Menurut Para ahli
Menurut Tead; Terry; Hoyt (dalam Kartono, 2003) Pengertian Kepemimpinan yaitu kegiatan atau seni mempengaruhi orang lain agar mau bekerjasama yang didasarkan pada kemampuan orang tersebut untuk membimbing orang lain dalam mencapai tujuan-tujuan yang diinginkan kelompok.
Menurut Young (dalam Kartono, 2003) Pengertian Kepemimpinan yaitu bentuk dominasi yang didasari atas kemampuan pribadi yang sanggup mendorong atau mengajak orang lain untuk berbuat sesuatu yang berdasarkan penerimaan oleh kelompoknya, dan memiliki keahlian khusus yang tepat bagi situasi yang khusus.
Dari beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan merupakan kemampuan mempengaruhi orang lain, bawahan atau kelompok, kemampuan mengarahkan tingkah laku bawahan atau kelompok, memiliki kemampuan atau keahlian khusus dalam bidang yang diinginkan oleh kelompoknya, untuk mencapai tujuan organisasi atau kelompok.

TEORI KEPEMIMPINAN
1.  Teori Kelebihan
Teori ini beranggapan bahwa seorang akan menjadi pemimpin apabila ia memiliki kelebihan dari para pengikutnya. Pada dasarnya kelebihan yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin mencakup 3 hal yaitu kelebihan ratio, kelebihan rohaniah, kelebihan badaniah.

2.  Teori Sifat
Teori ini menyatakan bahwa seseorang dapat menjadi pemimpin yang baik apabila memiliki sifat-sifat yang positif sehingga para pengikutnya dapat menjadi pengikut yang baik, sifat-sifat kepemimpinan yang umum misalnya bersifat adil, suka melindungi, penuh percaya diri, penuh inisiatif, mempunyai daya tarik, energik, persuasif, komunikatif dan kreatif.

3.  Teori Keturunan
Menurut teori ini, seseorang dapat menjadi pemimpin karena keturunan atau warisan, karena orang tuanya seorang pemimpin maka anaknya otomatis akan menjadi pemimpin menggantikan orang tuanya.

4.  Teori Kharismatik
Teori ini menyatakan bahwa seseorang menjadi pemimpin karena orang tersebut mempunyai kharisma (pengaruh yang sangat besar). Pemimpin ini biasanya memiliki daya tarik, kewibawaan dan pengaruh yang sangat besar.

5.  Teori Bakat
Teori ini disebut juga teori ekologis, yang berpendapat bahwa pemimpin lahir karena bakatnya. Ia menjadi pemimpin karena memang mempunyai bakat untuk menjadi pemimpin. Bakat kepemimpinan harus dikembangkan, misalnya dengan memberi kesempatan orang tersebut menduduki suatu jabatan.

6.  Teori Sosial
Teori ini beranggapan pada dasarnya setiap orang dapat menjadi pemimpin. Setiap orang mempunyai bakat untuk menjadi pemimpin asal dia diberi kesempatan. Setiap orang dapat di didik menjadi pemimpin karena masalah kepemimpinan dapat dipelajari, baik melalui pendidikan formal maupun pengalaman praktek.

JENIS-JENIS KEPEMIMPINAN
1.  Gaya Kepemimpinan Klasik
Salah satu jenis kepemimpinan adalah gaya kepemimpinan yang klasik. Teori klasik gaya kepemimpinan mengemukakan, pada dasarnya di dalam setiap gaya kepemimpinan terdapat 2 unsur utama, yaitu unsur pengarahan (directive behavior) dan unsur bantuan (supporting behavior).

2.  Gaya Kepemimpinan Situasional
Merupakan gaya yang terdiri dari gaya kepemimpinan kontinum yang pertama sekali dikembangkan oleh Robert Tannenbaum dan Warren Schmidt. Kemudian ada gaya managerial grid yang lebih menekankan kepada pendekatan dua aspek yaitu aspek produksi di satu pihak, dan orang-orang di pihak lain. Blake dan Mouton menghendaki bagaimana perhatian pemimpin terhadap produksi dan bawahannya (followers).
          Gaya kepemimpinan, secara langsung maupun tidak langsung mempunyai pengaruh yang positif terhadap peningkatan produktivitas kerja karyawan atau pegawai. Hal ini didukung oleh Sinungan (1987) yang menyatakan bahwa gaya kepemimpinan yang termasuk di dalam lingkungan organisasi merupakan faktor potensi dalam meningkatkan produktivitas kerja.
          Dari beberapa gaya yang di tawarkan oleh para ahli di atas, maka gaya kepemimpinan situasional lah yang paling baru dan sering digunakan pemimpin saat ini. Gaya kepemimpinan situasional dianggap para ahli manajemen sebagai gaya yang sangat cocok untuk diterapkan saat ini.
          Sedangkan untuk bawahan yang tergolong pada tingkat kematangan yaitu bawahan yang tidak mampu tetapi berkemauan, maka gaya kepemimpinan yang seperti ini masih pengarahan, karena kurang mampu, juga memberikan perilaku yang mendukung.

3.  Gaya Kepemimpinan Direktif
Pemimpin seperti ini mengutamakan pemberian pedoman dan petunjuk kepada bawahan bagaimana melakukan pekerjaan serta memberitahukan mengenai apa yang diharapkan dari mereka.

FUNGSI KEPEMIMPINAN
Ada beberapa fungsi-fungsi kepemimpinan. Kepemimpinan yang efektif hanya akan terwujud apabila dijalankan sesuai dengan fungsinya. Fungsi kepemimpinan itu berhubungan langsung dengan situasi sosial dalam kehidupan kelompok atau organisasi masing-masing, yang mengisyaratkan bahwa setiap pemimpin berada di dalam dan bukan di luar situasi itu. Fungsi kepemimpinan merupakan gejala sosial, karena harus diwujudkan dalam intraksi antar individu di dalam situasi sosial suatu kelompok atau organisasi karena fungsi kepemimpinan sangat mempengaruhi maju mundurnya suatu organisasi, tanpa ada penjabaran yang jelas tentang fungsi pemimpin mustahil pembagian kerja dalam organisasi dapat dapat berjalan dengan baik.
Sondang P. Siagian dalam bukunya Teori dan Praktek Kepemimpinan mengatakan beberapa fungsi kepemimpinan sebagai berikut:
©      Pimpinan sebagai penentu arah dalam usaha pencapaian tujuan
©      Pemimpin sebagai wakil dan juru bicara organisasi dalam hubungan dengan pihak-pihak di luar organisasi
©      Pemimpin sebagai komunikator yang efektif
©      Pemimpin sebagai mediator, khususnya dalam hubungan ke dalam, terutama dalam menangani situasi konflik
©      Pemimpin sebagai integrator yang efektif, rasional, objektif dan netral (Siagian, 1999)
Fungsi kepemimpinan menurut Rivai (2002), bahwa kepemimpinan berhubungan langsung dengan situasi sosial dalam kehidupan kelompok/organisasi masing-masing yang mengisyaratkan bahwa setiap pemimpin berada di dalam dan bukan di luar situasi itu. Fungsi kepemimpinan merupakan gejala sosial, karena harus diwujudkan dalam interaksi antar individu di dalam situasi sosial suatu kelompok/organisasi. 
Fungsi kepemimpinan sendiri dikelompokkan dalam dua dimensi berikut (Rivai, 2002):
©   Dimensi yang berkenaan dengan tingkat kemampuan mengarahkan (direction) dalam tindakan atau aktivitas pemimpin.
©  Dimensi yang berkenaan dengan tingkat dukungan (support) atau keterlibatan orang-orang yang dipimpin dalam melaksanakan tugas-tugas pokok kelompok/organisasi.


KEPEMIMPINAN TRANSAKSIONAL DAN TRANSFORMASIONAL
©                  Kepemimpinan Transaksional
Burns dalam Uno(2007: 58) mendefinisikan kepemimpinan transaksional adalah kepemimpinan yang memotivasi bawahan atau pengikut dengan minat-minat pribadinya. Kepemimpinan transaksional juga melibatkan nilai-nilai akan tetapi nilai-nilai itu relevan sebatas proses pertukaran (exchange process), tidak langsung menyentuh substansi perubahan yang dikehendaki.
Kudisch, dkk dalam (Heru: 2004) mengemukakan kepemimpinan transaksional dapat digambarkan sebagai :
               1.      Mempertukarkan sesuatu yang berharga bagi yang lain antara pemimpin dan bawahannya.
                  2.      Intervensi yang dilakukan sebagai proses organisasional untuk mengendalikan dan memperbaiki kesalahan.
                        3.      Reaksi atas tidak tercapainya standar yang telah ditentukan.
Pada dasarnya kepemimpinan transaksional mirip dengan path-goal theory dan mencakup semua pendekatan situasional yang lebih menekankan pada pendekatan rasional.
Kepemimpinan transaksional menurut Metcalfe (2000) pemimpin transaksional harus memiliki informasi yang jelas tentang apa yang dibutuhkan dan diinginkan bawahannya dan harus memberikan balikan yang konstruktif untuk mempertahankan bawahan pada tugasnya. Pada hubungan transaksional, pemimpin menjanjikan dan memberikan penghargaan kepada bawahannya yang berkinerja baik, serta mengancam dan mendisiplinkan bawahannya yang berkinerja buruk.
Bernard M. Bass dalam Hanafi (1997: 382) mengemukakan kepemimpinan transaksional adalah kepemimpinan di mana pemimpin menentukan apa yang harus dikerjakan oleh karyawan agar mereka dapat mencapai tujuan mereka sendiri atau organisasi dan membantu karyawan agar memperoleh kepercayaan dalam mengerjakan tugas tersebut.

ü  Contoh Kasus
Seorang walikota dari sebuah kota terkotor di dunia yang letaknya berada di salah satu negara amerika latin, berhasil mengubah negaranya menjadi negara terbersih di dunia dengan melarang pembelian sayur kecuali dengan menukarnya dengan sampah. Jadi masyarakat akan diberikan sayur yang merupakan salah satu makanan pokok mereka dan hanya bila mereka membawa sampah ketempat pembuangan yang telah ditentukan pemerintah, di sana masyarakat kemudian dapat menukar sampah tersebut dengan sayur.

©                  Kepemimpinan Transformasional
Bernard M. Bass dalam Hanafi (1997: 382) mengemukakan kepemimpinan transformasional adalah suatu kepemimpinan di mana pemimpin memotivasi bawahannya untuk mengerjakan lebih dari yang diharapkan semula dengan meningkatkan rasa pentingnya bawahan dan nilai pentingnya pekerjaan. Pemimpin transformasional adalah pemimpin yang mampu membuat bawahannya menyadari perspektif yang lebih luas, sehingga kepentingan individu akan disubordinasikan terhadap kepentingan tim, organisasi, atau kepentingan lain yang lebih luas. Pemimpin semacam itu juga mampu meningkatkan kebutuhan bawahan menuju kebutuhan yang paling tinggi yaitu kebutuhan aktualisasi diri.
Burns dalam Heru (2004) mendefinisikan kepemimpinan transformasional adalah suatu proses, yaitu pemimpin dan pengikutnya saling merangsang diri satu sama lain untuk penciptaan level yang tinggi dari moralitas dan motivasi yang dikaitkan dengan tugas pokok dan fungsi mereka. Gaya kepemimpinan semacam ini akan mampu membawa kesadaran para pengikut (followers) dengan memunculkan ide-ide produktif, hubungan sinergikal, kebertanggungjawaban, kepedulian edukasional, cita-cita bersama dan nilai-nilai moral (moral values).

ü  Contoh Kasus
Salah satu contoh seorang pemimpin dengan gaya kepemimpinan transformasional adalah Herb Kelleher, seorang CEO yang menjadikan Southwest Airlines menjadi salah satu maskapai penerbangan terbaik di dunia. Dia memiliki karisma (pernah satu kali menyelesaikan perselisihan antar karyawan dengan melakukan adu panco), berorientasi pada karyawan (karyawan paling utama), memiliki visi (dia menerapkan konsep low-cost airline sebagai desain untuk berkompetisi dengan moda transportasi darat dan maskapai perkembangan lain), dan motivator yang sangat baik untuk orang-orang yang ada di perusahaannya.
Seorang pemimpin sesukses Herb Kelleher juga tidak akan berhasil jika tidak dibantu oeh karyawannya. Seorang pemimpin juga membutuhkan rekan untuk mewujudkan visinya. Ada sebuah ilustrasi. Waktu kecil, saya sangat suka dengan film Power Ranger. Memiliki kekuatan super dan senjata yang keren untuk memberantas para monster jahat yang ingin mengganggu keamanan Bumi. Setiap personilnya memiliki warna sebagai ciri khasnya masing-masing, yaitu Merah, Biru, Hijau, Hitam, Kuning, dan Merah Muda. Warna dari para ranger ini juga diasosiasikan dengan kepribadian masing-masing: Merah diidentikkan sebagai seorang pemimpin yang pemberani, Biru sebagai seorang yang pintar dan pengatur strategi, Hijau sebagai seorang yang tenang, Hitam sebagai seorang yang kuat dan misterius, Kuning sebagai seorang yang supel dan humoris, dan Merah Muda sebagai seorang yang penyayang.
Dari ilustrasi diatas, saya ingin menunjukkan kalau seorang pemimpin transformasional harus jeli dan peka terhadap keberagaman dari orang-orang yang bekerja bersamanya. Tidak semua orang memiliki kemampuan dan sifat yang sama. Masing-masing orang memiliki warnanya masing-masing. Seperti Power Ranger, seorang pemimpin transformasional harus bisa memaksimalkan keberagaman potensi dan kemampuan untuk kemudian menggerakkan rekan kerjanya mencapai visi bersama. Tak lupa, seorang pemimpin transformasional juga harus bisa melahirkan pemimpin-pemimpin baru di masa datang. Mengutip perkataan dari Hellen Keller, “Alone we can do so little. Together we can do so much”.


Daftar Pustaka
©    Widodo, Joko. Kepemimpinan Pendidikan Transaksional dan Transformasional di SMK Non Teknik. Fakultas Ekonomi UNNES.