PSIKOTERAPI
A. Terapi Dengan Pendekatan Behaviorisme
Menurut Atkinson dkk
(dalam Riyanti & Prabowo, 1998) Aliran ini timbul di Rusia yang dipelopori
oleh Juan Petrovich Pavlov. Para ahli behaviourist
beranggapan bahwa perilaku maladatif merupakan cara untuk menanggulangi stress
yang sudah “terbiasa” pada diri seseorang, sehingga beberapa teknik perilaku
yang dikembangkan dalam percobaan dapat digunakan untuk menggantikan respons
maladatif tersebut dengan respon baru yang lebih tepat. Jika terapis psikoanalis
berkaitan dengan pemahaman konflik masa lalu, maka terapi perilakuan lebih memusatkan
langsung kepada perilaku itu sendiri.
Terapi Dengan Pendekatan Behaviorisme
diantaranya yaitu:
1. Desensitisasi Sistematis
Menurut
Corey (dalam Riyanti & Prabowo, 1998) Desensitisasi sistematis adalah salah
satu teknik yang digunakan untuk menghilangkan tingkah laku yang diperkuat
secara negatif, serta memunculkan tingkah laku atau respon yang berlawanan
dengan tingkah laku yang akan dihilangkan tersebut. Teknik ini mengarahkan agar
klien dilatih untuk menampilkan suatu respon yang tidak konsisten dengan
kecemasan yang dialaminya.
Wolpe
seorang ahli yang pertama menggembangkan teknik desensitisasi sistematis,
mengajukan argument bahwa segenap tingkah laku neurotik adalah ungkapan dari
kecemasan serta kecemasan tersebut menurutnya dapat dihilangkan dengan
respons-respons yang secara inheren berlawanan dengan respons tersebut.
Di dalam menerapkan teknik Desensitisasi Sistematis,
dikenal dua unsur utama yang tidak dapat dipisahkan dari teknik ini, yaitu:
relaksasi dan hirarki kecemasan.
2. Assertive Training
Digunakan untuk melatih individu yang mengalami kesulitan untuk
menyatakan dirinya bahwa tindakannya layak atau benar. Beberapa orang merasa
cemas dalam berbagai situasi sosial karena tidak tahu bagaimana “berbicara
secara terus terang” tentang apa yang mereka rasakan benar atau “mengatakan
tidak” jika orang lain berusaha memanfaatkan mereka. Misalnya “ketika seseorang
mendahului anda ketika anda sedang antri membeli karcis” atau “atasan dan mengkritik
anda dengan tidak benar”.
Menurut Atkinson (dalam Riyanti & Prabowo, 1998) dengan
memberikan latihan respon yang tegas, seorang klien tidak hanya mengurangi
kecemasannya akan tetapi sekaligus juga mengembangkan teknik penanggulangan
yang efektif. Latihan asertif diberikan secara bertahap, dimulai dari latihan
permainan peran dengan terapis sampai dengan menghadapi situasi kehidupan yang
sebenarnya.
3. Modeling
Perilaku
model digunakan untuk membentuk perilaku baru pada klien, memperkuat perilaku
yang sudah terbentuk degan menunjukkan kepada klien tentang perilaku model,
baik menggunakan model audio, model fisik atau lainnya yang dapat teramati dan
dipahami jenis perilaku yang akan dicontoh.
4. Terapi Implosif
Pasien dengan ansietas yang disebabkan oleh
situasi, secara langsung dipajankan terhadap situasi tersebut untuk jangka
waktu tertentu (flooding) atau
dipajankan di dalam imajinasi (implosion)
5. Terapi Aversi
Pasien diberikan stimulus yang tidak
menyenangkan (missal, syok elektrik, suara keras) pada saat perilakunya yang
tidak dikehendaki muncul. Beberapa dari cara ini secara hokum dilarang. Suatu teknik
pengganti, yaitu sensitisasi tertutup, lebih bisa diterima, karena menggunakan
pikiran-pikiran yang tidak menyenangkan sebagai stimulus yang aversif.
Contoh Video mengenai Psikoterapi
Perilaku (Behaviorisme):
B. Terapi Dengan Pendekatan Psikoanalisis
Sigmund Freud (1856-1939)
merupakan pendiri psikoanalisis. Menurut Freud pikiran-pikiran yang direpres
atau ditekan, merupakan sumber perilaku yang tidak normal atau menyimpang.
Dasar dari terapi
psikoanalisis adalah konsep dari Sigmund Freud dan beberapa pengikutnya. Tujuan
dari psikoanalisis adalah menyadarkan individu dari konflik yang tidak disadari
serta mekanisme pertahanan (defense
mechanism) yang digunakan untuk mengendalikan kecemasan. Apabila motif dan
rasa takut yang tidak disadari telah diketahui, maka hal-hal tersebut dapat
diatasi dengan cara yang lebih rasional dan realistis.
Terapi psikoanalisis
bersifat intensif dan panjang lebar. Terapis dan klien umumnya bertemu selama
50 menit beberapa kali dalam seminggu sampai beberapa tahun. Oleh karena itu
agar dapat lebih efisien, maka pertemuan dapat dilakukan dengan pembatasan
waktu dan penjadwalan waktu yang tidak terlalu sering (Atkinson dkk., 1993).
Teknik-teknik dalam
psikoanalisis disesuaikan untuk meningkatkan kesadaran, memperoleh pemahaman
intelektual atas tingkah laku klien, serta untuk memahami makna dari beberapa
gejala. Berikut adalah teknik-teknik dasar dalam psikoanalisis:
1. Asosiasi Bebas
Menurut Corey (dalam Riyanti & Prabowo,
1998) Asosiasi Bebas merupakan teknik utama dalam psikoanalisi. Terapis meminta
klien agar membersihkan pikirannya dari pikiran-pikiran dan renungan-renungan
sehari-hari, serta sedapat mungkin mengatakan apa saja yang muncul dan melintas
dalam pikiran. Cara yang khas adalah dengan mempersilahkan klien berbaring
diatas balai-balai sementara terapis duduk di belakangnya, sehingga tidak
mengalihkan perhatian klien pada saat-saat asosiasinya mengalir dengan bebas.
Asosiasi bebas ini merupakan suatu metode
pemanggilan kembali pengalaman-pengalaman masa lampau dan pelepasan emosi-emosi
yang berkaitan dengan situasi traumatis masa lalu, yang kemudian dikenal dengan
kartasis. Kartasis hanya menghasilkan
perbedaan sementara atas pengalaman-pengalaman menyakitkan pada klien tetapi
tidak memainkan peran utama dalam proses treatment
(Corey, 1995).
2. Penafsiran (Interpretasi)
Menurut Corey (dalam Riyanti & Prabowo,
1998) Penafsiran merupakan prosedur dasar di dalam menganalisis asosiasi bebas,
mimpi-mimpi, resistensi, dan transferensi. Caranya adalah dengan
tindakan-tindakan terapis untuk menyatakan, menerangkan, dan mengajarkan klien
makna-makna tingkah laku apa yang dimanifestasikan dalam mimpi, asosiasi bebas,
resistensi, dan hubungan terapeutik itu sendiri. Fungsi dari penafsiran ini
adalah mendorong ego untuk mengasimilasi bahan-bahan baru dan memprecepat
proses pengungkapan alam bawah sadar secara lebih lanjut. Penafsiran yang
diberikan oleh terapis menyebabkan adanya pemahaman dan tidak terhalanginya
alam bawah sadar pada diri klien.
3. Analisis Mimpi
Menurut Corey (dalam Riyanti & Prabowo,
1998) Analisis mimpi adalah prosedur atau cara yang penting untuk mengungkapkan
alam bawah sadar dan memberikan kepada klien pemahaman atas beberapa area
masalah yang tidak terselesaikan. Selama tidur, pertahanan-pertahanan melemah,
sehingga perasaan-perasaan yang direpres akan muncul ke permukaan, meski dalam
bentuk lain. Freud memandang bahwa mimpi merupakan “jalan istimewa menuju
ketidaksadaran”, karena melalui mimpi tersebut hasrat-hasrat, kebutuhan, dan
ketakutan tak sadar dapat diungkapkan. Beberapa motivasi sangat tisak dapat
diterima oleh seseorang, sehinggga akhirnya diungkapkan dalam bentuk yang
disamarkan atau disimbolkan dalam bentuk yang berbeda.
Mimpi memiliki dua taraf, yaitu isi laten dan isi manifes. Isi laten terdiri atas motif-motif yang disamarkan,
tersembunyi, simbolik, dan tidak disadari. Karena begitu menyakitkan dan
mengancam, maka dorongan-dorongan seksual dan perilaku agresif tak sadar (yang
merupakan isi laten) ditransformasikan ke dalam isi menifes yang lebih dapat
diterima, yaitu impian yang tampil pada si pemimpi sebagaimana adanya. Sementara
tugas terapis adalah mengungkapkan makna-makna yang disamarkan dengan
mempelajari simbol-simbol yang terdapat dalam isi manifest. Di dalam proses
terapi, terapis juga dapat meminta klien untuk mengasosiasikan secara bebas
sejumlah aspek isi manifes impian untuk mengungkapkan makna-makna yang
terselubung.
4. Resistensi
Menurut Corey (dalam Riyanti & Prabowo,
1998) resistensi adalah sesuatu yang melawan kelangsungkan terapi dan mencegah
klien mengemukakan bahan yang tidak disadari. Selama asosiasi bebas dan
analisis mimpi, klien dapat menunjukkan ketidaksediaan untuk menghubungkan
pikiran, perasaan, dan pengalaman tertentu. Freud memandang bahwa resistensi dianggap
sebagai dinamika tak sadar yang digunakan oleh klien sebagai pertahanan
terhadap kecemasan yang tidak bisa dibiarkan, yang akan meningkat jika klien
menjadi sadar atas dorongan atau perasaan yang direpres tersebut.
5. Transferensi
Menurut Chaplin (dalam Riyanti & Prabowo,
1998) Resistensi dan transferensi adalah dua hal inti dalam terapi
psikoanalisis. Transferensi dalam keadaan normal adalah pemindahan emosi dari
suatu objek ke objek lainnya, atau secara lebih khusus pemindahan emosi dari
orangtua kepada terapis. Dalam keadaan neurosis, merupakan pemuasan libido
klien yang diperleh melalui mekanisme pengganti atau lewat kasih sayang yang
melekat dan kasih sayang pengganti. Seperti ketika seorang klien menjadi lekat
dan jatuh cinta pada terapis sebagai pemindahan dari orangtuanya.
Contoh
Video mengenai Psikoterapi Asosiasi Bebas (Psikoanalisis):
C. Terapi Dengan Pendekatan Humanistik
Abraham Maslow
(1908-1970) dapat dipandang sebagai bapak dari psikologi humanistik. Psikologi humanistik
mulai di Amerika Serikat pada tahun 1950 dan terus berkembang. Tokoh-tokoh
psikologi humanistik memandang behaviorisme mendehumanisasi manusia. Psikologi humanistik
mengarahkan perhatiannya pada humanisasi psikologi yang menekankan pada
keunikan manusia. Menurut psikologi humanistik manusia adalah makhluk kreatif,
yang dikendalikan oleh nilai-nilai dan pilihan-pilihannya sendiri bukan oleh
kekuatan-kekuatan ketidaksadaran.
Dasar dari terapi humanistik
adalah penekanan pada keunkan setiap individu serta memusatkan perhatian pada
kecenderungan alami dalam pertumbuhan dan perwujudan dirinya. Salah satu
pendekatan yang dikenal dalam terapi humanistik ini adalah terapi yang berpusat
kepada klien atau Client-Centered Therapy.
Menurut Atkinson dkk
(dalam Riyanti & Prabowo, 1998) Client-Centered Therapy adalah terapi yang
dikembangkan oleh Carl Rogers yang didasarkan kepada asumsi bahwa klien
merupakan ahli yang paling baik bagi dirinya sendiri dan merupakan orang yang
mampu untuk memecahkan masalahnya sendiri. Tugas terapis adalah mempermudah
prose pemecahan masalah mereka sendiri. Terapis juga tidak mengajukan
pertanyaan menyelidik, membuat penafsiran, atau menganjurkan serangkaian
tindakan. Istilah terapis dalam pendekatan ini kemudian lebih dikenal
dengan istilah fasilitator.
Untuk mencapai pemahaman
klien terhadap permasalahan yang dihadapi, maka dalam diri terapis diperlukan
beberapa persyaratan antara lain adalah:
1. Empati
Yaitu kemampuan memahami perasaan yang dapat mengungkapkan
keadaan klien dan kemampuan mengkomunikasikan pemahaman ini terhadap klien. Terapis
berusaha agar masalah yang dihadapi klien dipandang dari sudut klien sendiri.
2. Rapport
Yaitu menerima klien dengan tulus sebagaimana adanya, termasuk
pengakuan bahwa orang tersebut memiliki kemampuan untuk terlibat secara
konstruktif dengan masalahnya.
Contoh
Video mengenai Psikoterapi Konseling (Humanistik):
Daftar
Pustaka
© Basuki, A.M.H. (2008). Psikologi umum. Jakarta: Gunadarma.
© Riyanti, B.P.D &
Prabowo, H. (1998). Psikologi umum 2.
Jakarta: Gunadarma.
© Tomb, D.A. (2003). Buku saku psikiatri. Jakarta: EGC